************************************************************************************************************************
Saudaraku, kalau artikel dalam blog ini bermanfaat informasikanlah kepada muslim yang lain
(Setiap kata yang mencerahkan orang lain, Insya Allah, anda akan mendapat ganjaran pahala)
============================================================================

Kamis, 24 September 2009

Anti Klimaks


Hadits ‘Aisyah ra. “Dan agama yang paling beliau (Rasulullah) cintai adalah apa yang dilanggengkan oleh pemiliknya” (HR.Bukhari – Muslim)

Ketika anda berada di puncak maka bersiap-siaplah turun, ketika anda dipilih sebagai pucuk pimpinan maka bersiap-siaplah lengser, ketika sore menjelang maka bersiaplah menyambut malam. Itulah sunnatullah yang tidak pernah berubah. Beruntunglah karena gunung lain masih ada, beruntunglah karena jabatan lain masih banyak, beruntunglah karena hari lain kemungkinan masih ada. Demikianlah kemenangan ramadhan yang telah kita peroleh secara perlahan cahanya surut meredup. Apakah cahaya itu akan bersinar terus dengan terang benderang sampai ramadhan berikutnya, atau harus mulai mengasah pelan-pelan sejak saat ini juga. Kekuatan iman kita yang akan menjawabnya.

Puncak ketaatan bila diamati secara umum terletak pada akhir ramadhan. Cobalah tegok mesjid-mesjid setelah idul fitri, pengunjungnya sangat menurun dibandingkan dengan sebelumnya. Memang ada ketaatan lain yang meningkat yaitu silaturahmi, tetapi secara umum banyak penurunan aktivitas peribadatan misalnya; shalat berjamaah, shalat sunnah, tilawah Al Quran, sedekah dsb.

Tentu saja hal ini tidak sesuai dengan spirit kemenangan dari bulan ramadhan, yang menginginkan kontinuitas kebiasaan-kebiasaan yang telah dilatih sebulan penuh. Barangkali disnilah urgensi dan fungsi dari puasa syawal 6 hari untuk membangkitkan semangat kembali beribadah dengan menjanjikan keutamaan yang besar, sebagai sabda Rasuluallah :

Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan kemudian mengiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawwal, maka ia (pahalanya) seperti puasa setahun penuh. (HR.Ahmad,Muslim,Abu Daud,At-Turmudzi).

Bagi orang yang berpuasa untuk mengejar pahala sebanyak-banyaknya (dan itu adalah hal yang terpuji karena perintah Allah juga), seolah hadist ini mengatakan ayo perbanyaklah pahala bukan hanya pada bulan Ramadhan karena pada bulan lain pahalanya juga tinggi. Ada semangat yang harus terus dipompa bukan hanya di bulan Ramadhan tetapi juga pada bulan lain, sehingga spirit dari hadits pertama diatas dapat dijaga.

Secara psikologis hadits ini mengantisipasi kecenderungan orang-orang yang semangatnya menurun setelah Ramadhan. Meskipun yang disebutkan di sini adalah puasa, tetapi harus dianalogikan juga untuk ibadah-ibadah yang lain.

Saudaraku, meskipun kita menyadari bahwa ada penurunan semangat dalam beribadah setelah Ramadhan sangat sulit dihindari, tetapi semangat itu harus segera dibangkitkan lagi. Marilah kita mohon agar usaha yang kita lakukan untuk tetap bergairah dalam menjalankan peribadatan merupakan jihad kita dalam meraih cinta dan ridha Allah. Orientasi kita dalam beribadah melalui cara ini mudah-mudahan mendapat penilaian Allah jauh lebih baik daripada sekedar sekian ribu kali ganjaran pahala.

Saudaraku, kalau hal ini dapat kita pertahankan terus, mudah-mudahan kita termasuk sebagaimana yang difirmankan Allah “Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal kematian)” (QS. 15:99)

Senin, 21 September 2009

Jaminan Rezeki dari Allah


[29.60] Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Sangat rasionil bahwa Allah pasti menjamin rezeki untuk setiap makhluk, karena Dialah yang menciptakannya. Sejahat apapun makhluknya itu, tetap akan di jamin rezekinya.

Kita, manusia yang pelit tidak pernah berhenti memikirkan kebutuhan anak-anak kita, sebandel bagaimanapun anak tersebut. Kadang-kadang kita sendiri kelaparan dan kehausan dapat ditahan asal anak-anak kita terpenuhi kebutuhannya.

Allah Yang Maha Pemurah, tentu saja tidak akan membiarkan hambanya kehilangan sumber rezekinya.

Lalu mengapa dalam kenyataannya barang orang yang kekuarangan rezeki, bahkan ada yang sampai mati kelaparan.

Ada dua penyebab sehingga hal ini terjadi,

1. Ada orang atau sistem yang menintervensi, sehingga sumber itu tidak sampai kepada yang berhak. Boleh jadi, lintah darat, pemerintah yang lalim, sistem ekonomi yang tidak adil, atau kondisi alam yang rusak karena tangan-rangan manusia itu sendiri

2. Orang yang bersangkutan belum bekerja maksimal melakukan ikhtiar untuk memenuhi kebutuhannya

Karena jaminan rezeki kita sudah pasti, tidak usah dipusingkan lagi. Urusan sedikit banyaknya itu adalah urusan Allah, Dialah yang paling tahu untuk model kita rezekinya diberi sedikait atau banyak, dan itulah yang terbaik buat kita.

Yang perlu kita maksimalkan adalah bagaimana meraih cintaNya, dan ini sudah diajarkan kepada kita melalui Alquran dan Al Hadist


Minggu, 20 September 2009

Semangat perbaikan



Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin sesunguhnya dia telah beruntung, barangsiapa yang hari ini sama dengan hari kemarin, maka sesungguhnya ia telah merugi. Dan barangsiapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin, maka sesungguhnya ia terlaknat. (HR Dailami)

Ramadhan segera berlalu namun semangat perbaikan diri harus selalu dihidupkan dan diperjuangkan, sesuai dengan pesan dari hadist diatas.

Alhamdulillah selama ramadhan kita banyak mendapat pencerahan melalui ceramah-ceramah tarawih dari para ustad. Karena ilmu agama sangat luas, tentu saja tidak mungkin dalam sebulan kita mendapatkan semuanya. Salah satu kajian ringan yang mungkin luput dari perhatian kita adalah gerakan-gerakan dalam shalat yang tidak termasuk rukun shalat, seperti menggaruk yang berulang-ulang, memegang hidung, memegang janggut, menepuk nyamuk. Menggerak-gerakkan kepala, dsb.

Gerakan-gerakan tsb diatas kalau dilakukan dalam shalat hanya satu dua kali misalnya, masih bisa dimaklumi dan tidak membatalkan shalat, tetapi kalau frekuensi gerakannya sangat sering maka dapat membatalkan shalat paling tidak menjadi makruh, disampaing itu sangat menggangu jamaah yang disampingnya. Anehnya gerakan-gerakan itu malah jarang terjadi diluar shalat.

Hal lain yang lebih mendasar yang harus kita perbaiki dalam shalat berjamaah adalah tata cara mengikuti gerakan imam dalam shalat, patokannya adalah hadist sbb. :

Sesungguhnya imam itu diadakan untuk diikuti. Oleh karena itu, jika di bertakbir, maka bertakbirlah kalian. Jangan kalian bertakbir sehingga dia (selesai) bertakbir. Dan jika ruku’, maka ruku’lah kalian. Dan jangan kalian ruku’ sehingga dia ruku’, jika dia mengucapkan Sami’allahu liman hamidah, maka ucapkanlah; Allahumma Rabbana wa lakal hamdu. Jika dia bersujud. bersujudlah kalian. Dan jangan kalian bersujud sehingga dia bersujud. Dan jika dia shalat sambil berdiri, shalatlah kalian sambil berdiri, dan jika dia shalat sambil duduk, shalatlah kalian semua sambil duduk (HR. Abu Daud, Buakhari, Muslim)

Hadist ini hadist shahih dan memahaminya juga sangat mudah. Ibarat komando dalam kehidupan sehari-hari, kita akan bergerak kalau perintah itu telah selesai diperintahkan. Apabila kita bergerak atau melakukan sesuatu sebelum perintah tuntas diucapkan, bisa-bisa digelari sok tahu. Meskipun hadistnya sangat jelas dan mudah dipahami, sangat berbeda dalam kegiatan shalat berjamaah kita sehari-hari, kadang-kadang ustad juga tidak mempedomaninya, dan kalau kita mengikuti hadist diatas dianggap aneh. Lalu apakah kita mengikuti ustad, kiyai atau mengikuti perintah Rasulullah?

Saudaraku, mari kita gunakan spirit ramadhan untuk berani melakukan perbaikan, seandainya hal-hal yang disebutkan diatas belum kita ikuti sesuai dengan sabda rasulullah. Ilmu yang kita miliki tidak ada gunanya kalau kita tidak berani mengaplikasikannya, bahkan bisa menjadi beban ketika dihisab “Rasulullah telah memerintahkan kamu, tetapi mengapa lebih suka mengikuti cara yang lain”, lalu bagaimana kita menjawabnya.

My Leader My Prophet

By Ahmed M Hashim

There was a time in my youth,
When Islam was only a custom.
They said "say La IIaha Illala Allah,..
And pray, you'll go to Heaven."

Ah, how simple, no struggle in this,
Just a word, and simple act.
Thereafter I'm absorbed in this world again,
With my 'assured' place in Paradise intact

. But this was not to be my fate
For ALLAH chose to guide my heart.
I learnt of a man who struggled so hard
When his mission was from the start.

The story of someone who had morals,
Spoke gently, kindness he knew.
Never fearing to say what's right,
His conviction in ISLAM was true.

The touch of his hand was as soft as silk
To comfort a crying child.
To mend his clothes, or do the chores,
Never complaining, he always smiled.

His smell was always of musk,
And cleanliness he kept at his best.
Stark contrast with the heroes of today,
Who stink of beer and sweat.

He held the hands of his companions.
Unashamed to play with many children.
So modest, so humble, a perfect example,
That strangers could not recognise him.

His eyes slept little for nights were precious,
His prayers he treasured much greater.
To pray Tahajjud in the depths of night,
Seeking forgiveness, and nearness
to his Creator.

He broke his tooth for me at Uhud,
And bled for me at Ta'if.
He cried for me, tears of concern,
Just so I could have this belief.

His enemies admired his teachings,
Uniting every religion, every clan.
Till ISLAM came to every corner of the world,
O, but indeed he was only a man.

To own a house, or build his wealth
Was not his main priority.
To establish ISLAM was more essential,
To bring us under a Higher Authority.

Don't you want him to plea for your case,
When before ALLAH-The Judge-you stand?
Don't you wish to be around his fountain,
A burning desire to drink from his hand?

So I love him more than all creation,
My Leader, my Humble Prophet.
Muhammad (Pbuh) was a mercy to all mankind,
And to me, he is the leader.

Wanita yang lebih mulia dari bidadari surga


Pernahkah saudara-saudara melihat seorang bidadari? Bidadari yang bermata jeli. Yang kabarnya sangat indah dan jelita. Saya yakin kita semua belum pernah melihatnya. Kalau begitu mari kita ikuti percakapan antara Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam dan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha tentang sifat-sifat bidadari yang bermata jeli.

Imam Ath-Thabrany mengisahkan dalam sebuah hadist, dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, jelaskanlah kepadaku firman Allah tentang bidadari-bidadari yang bermata jeli’.”
Beliau menjawab, “Bidadari yang kulitnya putih, matanya jeli dan lebar, rambutnya berkilai seperti sayap burung nasar.”

Saya berkata lagi, “Jelaskan kepadaku tentang firman Allah, ‘Laksana mutiara yang tersimpan baik’.” (Al-waqi’ah : 23)
Beliau menjawab, “Kebeningannya seperti kebeningan mutiara di ke dalaman lautan, tidak pernah tersentuh tangan manusia.”

Saya berkata lagi, “Wahai Rasulullah, jelaskan kepadaku firman Allah, ‘Di dalam surga-surga itu ada bidadari-bidadari yang baik-baik lagi cantik-cantik’.” (Ar-Rahman : 70)
Beliau menjawab, “Akhlaknya baik dan wajahnya cantik jelita”

Saya berkata lagi, Jelaskan kepadaku firman Allah, ‘Seakan-akan mereka adalah telur (burung onta) yang tersimpan dengan baik’.” (Ash-Shaffat : 49)
Beliau menjawab, “Kelembutannya seperti kelembutan kulit yang ada di bagian dalam telur dan terlindung kulit telur bagian luar, atau yang biasa disebut putih telur.”

Saya berkata lagi, “Wahai Rasulullah, jelaskan kepadaku firman Allah, ‘Penuh cinta lagi sebaya umurnya’.” (Al-Waqi’ah : 37)
Beliau menjawab, “Mereka adalah wanita-wanita yang meninggal di dunia pada usia lanjut, dalam keadaan rabun dan beruban. Itulah yang dijadikan Allah tatkala mereka sudah tahu, lalu Dia menjadikan mereka sebagai wanita-wanita gadis, penuh cinta, bergairah, mengasihi dan umurnya sebaya.”

Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, manakah yang lebih utama, wanita dunia ataukah bidadari yang bermata jeli?”
Beliau menjawab, “Wanita-wanita dunia lebih utama daripada bidadari-bidadari yang bermata jeli, seperti kelebihan apa yang tampak daripada apa yang tidak tampak.”

Saya bertanya, “Karena apa wanita dunia lebih utama daripada mereka?”
Beliau menjawab, “Karena shalat mereka, puasa dan ibadah mereka kepada Allah. Allah meletakkan cahaya di wajah mereka, tubuh mereka adalah kain sutera, kulitnya putih bersih, pakaiannya berwarna hijau, perhiasannya kekuning-kuningan, sanggulnya mutiara dan sisirnya terbuat dari emas. Mereka berkata, ‘Kami hidup abadi dan tidak mati, kami lemah lembut dan tidak jahat sama sekali, kami selalu mendampingi dan tidak beranjak sama sekali, kami ridha dan tidak pernah bersungut-sungut sama sekali. Berbahagialah orang yang memiliki kami dan kami memilikinya.’.”

Saya berkata, “Wahai Rasulullah, salah seorang wanita di antara kami pernah menikah dengan dua, tiga, atau empat laki-laki lalu meninggal dunia. Dia masuk surga dan mereka pun masuk surga pula. Siapakah di antara laki-laki itu yang akan menjadi suaminya di surga?”
Beliau menjawab, “Wahai Ummu Salamah, wanita itu disuruh memilih, lalu dia pun memilih siapa di antara mereka yang akhlaknya paling bagus, lalu dia berkata, ‘Wahai Rabb-ku, sesungguhnya lelaki inilah yang paling baik akhlaknya tatkala hidup bersamaku di dunia. Maka nikahkanlah aku dengannya’. Wahai Ummu Salamah, akhlak yang baik itu akan pergi membawa dua kebaikan, dunia dan akhirat.”


Minggu, 13 September 2009

Magnet Ramadhan



Rasulullah Saw. Bersabda: “Jika Ramadhan tiba dibukalah pintu sorga dan ditutuplah pintu neraka serta syaitan-syaitan dibelenggu. (HR. Bukhari).

Magnet Ramadhan sesungguhnya menyebar kemana-mana. Sejatinya tidak ada manusia di kolong langit ini tanpa kecipratan berkah ramadhan. Para hamba-hamba pendamba cinta Ilahi, sudah pasti merindukannya sepanjang hidupnya. Lihat saja selepas ramadhan ada rasa sedih menggayuti segenap perasaannya. Para entrepreneur, mereka paling sibuk merancang program dan peluang untuk menggeruk uang sebanyak-banyaknya. Para saudara kita dari agama lain mendapat limpahan rezeki melalui bisnis, bahkan Obamapun memanfaatkan ramadhan untuk memuluskan pemerintahannya. Sedangkan para pembenci umat islam, diakui atau tidak, langsung atau tidak langsung mereka menikmati dinamika dan peluang yang ditawarkan oleh ramadhan.

Khusus bagi kita kaum muslimin, ramadhan adalah saat yang paling ditunggu-tunggu, karena begitu banyak keberkatan yang ada didalamnya. Amal ibadah dilipatgandakan pahalanya, Rahmat dan ampunan Allah diberikan kepada yang berpuasa, didalamnya ada satu malam istimewa yaitu malam lailatul qadr, pintu surga dibuka dan pintu nereka di tutup dan syetan dibelenggu, dan banyak lagi keistimewaan didalamnya.

Penggambaran paling gamblang dari magnet ramadhan tentu saja dapat kita lihat di mesjid-mesjid, terutama pada shalat tarawih dan sholat subuh. Pada pasar-pasar dan mall jelas juga pengaruhnya, tetapi konteksnya lebih ke selera dunia. Kalau ingin melihat yang lebih khusuk dan sarat perenungan, maka dapat diketemukan pada shalat-shalat berjamaah dhuhur dan asar. Ada perasaan gembira melihat muka-muka baru yang berjamaah di mesjid dalam bulan ramadhan. Kejadian seperti ini umumnya dapat kita ketemukan di mesjid-mesjid di berbagai penjuruh daerah. Itulah magnet ramadhan.

Saudaraku, pertanyaan yang selalu mengusik adalah dapatkah dinamika dan motivasi yang selalu ingin dekat dengan Allah ini dipertahankan setelah ramadhan. Kenyataan yang selama ini kita lihat dan alami, setelah ramadhan, muka-muka baru yang khusuk bermunajah dalam mesjid, kembali menghilang dari mesjid, tinggal muka lama yang itu-itu juga. Satu, dua dan sepi. Apakah Allah tidak Maha Pemurah lagi setelah ramadhan sehingga kita enggan memohon dan mendamba kepadanya, atau kita merasa amalan ramadhan sudah cukup untuk sampai pada ramadhan berikutnya.

Saudaraku, kenikmatan beribadah yang kita rasakan dalam bulan ramadhan dapat kita jaga dan nikmati juga diluar ramadhan. Kenapa kita nikmati hanya sebulan kalau setahun dapat diusahakan. Kenikmatan spiritual makin dikejar makin mengkristal dalam suasana kedamaian dan kebahagiaan, sedangkan kenikmatan materi dan kekayaan makin dikejar makin menyengsarakan. Tentu saja statemen ini kenyataannya dapat dijumpai dengan mudah ditengah masyarakat kita.

Kalau ramadhan ke ramadhan sebelumnya siklusnya selalu berulang “begitu-begitu saja”, maka tekadkanlah ramadhan kali ini harus beda, dia harus memberi perubahan sikap kepada kita secara nyata atau “revolusioner”, sehingga kita keluar dari ramadhan ini berbeda dengan pengaruh ramadhan-ramdhan sebelumnya. Insya Allah. Amin.

Sabtu, 05 September 2009

The Guard Who Found Islam


Terry Holdbrooks stood watch over prisoners at Gitmo. What he saw made him adopt their faith.

By Dan Ephron NEWSWEEK
Published Mar 21, 2009
From the magazine issue dated Mar 30, 2009


Army specialist Terry Holdbrooks had been a guard at Guantánamo for about six months the night he had his life-altering conversation with detainee 590, a Moroccan also known as "the General." This was early 2004, about halfway through Holdbrooks's stint at Guantánamo with the 463rd Military Police Company. Until then, he'd spent most of his day shifts just doing his duty. He'd escort prisoners to interrogations or walk up and down the cellblock making sure they weren't passing notes. But the midnight shifts were slow. "The only thing you really had to do was mop the center floor," he says. So Holdbrooks began spending part of the night sitting cross-legged on the ground, talking to detainees through the metal mesh of their cell doors.
He developed a strong relationship with the General, whose real name is Ahmed Errachidi. Their late-night conversations led Holdbrooks to be more skeptical about the prison, he says, and made him think harder about his own life. Soon, Holdbrooks was ordering books on Arabic and Islam. During an evening talk with Errachidi in early 2004, the conversation turned to the shahada, the one-line statement of faith that marks the single requirement for converting to Islam ("There is no God but God and Muhammad is his prophet"). Holdbrooks pushed a pen and an index card through the mesh, and asked Errachidi to write out the shahada in English and transliterated Arabic. He then uttered the words aloud and, there on the floor of Guantánamo's Camp Delta, became a Muslim.

When historians look back on Guantánamo, the harsh treatment of detainees and the trampling of due process will likely dominate the narrative. Holdbrooks, who left the military in 2005, saw his share. In interviews over recent weeks, he and another former guard told NEWSWEEK about degrading and sometimes sadistic acts against prisoners committed by soldiers, medics and interrogators who wanted revenge for the 9/11 attacks on America. But as the fog of secrecy slowly lifts from Guantánamo, other scenes are starting to emerge as well, including surprising interactions between guards and detainees on subjects like politics, religion and even music. The exchanges reveal curiosity on both sides—sometimes even empathy. "The detainees used to have conversations with the guards who showed some common respect toward them," says Errachidi, who spent five years in Guantánamo and was released in 2007. "We talked about everything, normal things, and things [we had] in common," he wrote to NEWSWEEK in an e-mail from his home in Morocco.

Holdbrooks's level of identification with the other side was exceptional. No other guard has volunteered that he embraced Islam at the prison (though Errachidi says others expressed interest). His experience runs counter to academic studies, which show that guards and inmates at ordinary prisons tend to develop mutual hostility. But then, Holdbrooks is a contrarian by nature. He can also be conspiratorial. When his company visited the site of the 9/11 attacks in New York, Holdbrooks remembers thinking there had to be a broader explanation, and that the Bush administration must have colluded somehow in the plot.

But his misgivings about Guantánamo—including doubts that the detainees were the "worst of the worst"—were shared by other guards as early as 2002. A few such guards are coming forward for the first time. Specialist Brandon Neely, who was at Guantánamo when the first detainees arrived that year, says his enthusiasm for the mission soured quickly. "There were a couple of us guards who asked ourselves why these guys are being treated so badly and if they're actually terrorists at all," he told NEWSWEEK. Neely remembers having long conversations with detainee Ruhal Ahmed, who loved Eminem and James Bond and would often rap or sing to the other prisoners. Another former guard, Christopher Arendt, went on a speaking tour with former detainees in Europe earlier this year to talk critically about the prison.
Holdbrooks says growing up hard in Phoenix—his parents were junkies and he himself was a heavy drinker before joining the military in 2002—helps explain what he calls his "anti-everything views." He has holes the size of quarters in both earlobes, stretched-out piercings that he plugs with wooden discs. At his Phoenix apartment, bedecked with horror-film memorabilia, he rolls up both sleeves to reveal wrist-to-shoulder tattoos. He describes the ink work as a narrative of his mistakes and addictions. They include religious symbols and Nazi SS bolts, track marks and, in large letters, the words BY DEMONS BE DRIVEN. He says the line, from a heavy-metal song, reminds him to be a better person.

Holdbrooks—TJ to his friends—says he joined the military to avoid winding up like his parents. He was an impulsive young man searching for stability. On his first home leave, he got engaged to a woman he'd known for just eight days and married her three months later. With little prior exposure to religion, Holdbrooks was struck at Gitmo by the devotion detainees showed to their faith. "A lot of Americans have abandoned God, but even in this place, [the detainees] were determined to pray," he says.

Holdbrooks was also taken by the prisoners' resourcefulness. He says detainees would pluck individual threads from their jumpsuits or prayer mats and spin them into long stretches of twine, which they would use to pass notes from cell to cell. He noticed that one detainee with a bad skin rash would smear peanut butter on his windowsill until the oil separated from the paste, then would use the oil on his rash.
Errachidi's detention seemed particularly suspect to Holdbrooks. The Moroccan detainee had worked as a chef in Britain for almost 18 years and spoke fluent English. He told Holdbrooks he had traveled to Pakistan on a business venture in late September 2001 to help pay for his son's surgery. When he crossed into Afghanistan, he said, he was picked up by the Northern Alliance and sold to American troops for $5,000. At Guantánamo, Errachidi was accused of attending a Qaeda training camp. But a 2007 investigation by the London Times newspaper appears to have corroborated his story; it eventually helped lead to his release.

In prison, Errachidi was an agitator. "Because I spoke English, I was always in the face of the soldiers," he wrote NEWSWEEK in an e-mail. Errachidi said an American colonel at Guantánamo gave him his nickname, and warned him that generals "get hurt" if they don't cooperate. He said his defiance cost him 23 days of abuse, including sleep deprivation, exposure to very cold temperatures and being shackled in stress positions. "I always believed the soldiers were doing illegal stuff and I was not ready to keep quiet." (Navy Cmdr. Jeffrey Gordon, a Pentagon spokesman, said in response: "Detainees have often made claims of abuse that are simply not supported by the facts.") The Moroccan spent four of his five years at Gitmo in the punishment block, where detainees were denied "comfort items" like paper and prayer beads along with access to the recreation yard and the library.

Errachidi says he does not remember details of the night Holdbrooks converted. Over the years, he says, he discussed a range of religious topics with guards: "I spoke to them about subjects like Father Christmas and Ishac and Ibrahim [Isaac and Abraham] and the sacrifice. About Jesus." Holdbrooks recalls that when he announced he wanted to embrace Islam, Errachidi warned him that converting would be a serious undertaking and, at Guantánamo, a messy affair. "He wanted to make sure I knew what I was getting myself into." Holdbrooks later told his two roommates about the conversion, and no one else.

But other guards noticed changes in him. They heard detainees calling him Mustapha, and saw that Holdbrooks was studying Arabic openly. (At his Phoenix apartment, he displays the books he had amassed. They include a leather-bound, six-volume set of Muslim sacred texts and "The Complete Idiot's Guide to Understanding Islam.") One night his squad leader took him to a yard behind his living quarters, where five guards were waiting to stage a kind of intervention. "They started yelling at me," he recalls, "asking if I was a traitor, if I was switching sides." At one point a squad leader pulled back his fist and the two men traded blows, Holdbrooks says.
Holdbrooks spent the rest of his time at Guantánamo mainly keeping to himself, and nobody bothered him further. Another Muslim who served there around the same time had a different experience. Capt. James Yee, a Gitmo chaplain for much of 2003, was arrested in September of that year on suspicion of aiding the enemy and other crimes—charges that were eventually dropped. Yee had become a Muslim years earlier. He says the Muslims on staff at Gitmo—mainly translators—often felt beleaguered. "There was an overall atmosphere by the command to vilify Islam." (Commander Gordon's response: "We strongly disagree with the assertions made by Chaplain Yee").

At Holdbrooks's next station, in Fort Leonard Wood, Mo., he says things began to unravel. The only place to kill time within miles of the base was a Wal-Mart and two strip clubs—Big Daddy's and Big Louie's. "I've never been a fan of strip clubs, so I hung out at Wal-Mart," he says. Within months, Holdbrooks was released from the military—two years before the end of his commitment. The Army gave him an honorable discharge with no explanation, but the events at Gitmo seemed to loom over the decision. The Army said it would not comment on the matter.

Back in Phoenix, Holdbrooks returned to drinking, in part to suppress what he describes as the anger that consumed him. (Neely, the other ex-guard who spoke to NEWSWEEK, said Guantánamo had made him so depressed he spent up to $60 a day on alcohol during a monthlong leave from the detention center in 2002.) Holdbrooks divorced his wife and spiraled further. Eventually his addictions landed him in the hospital. He suffered a series of seizures, as well as a fall that resulted in a bad skull fracture and the insertion of a titanium plate in his head.

Recently, Holdbrooks has been back in touch with Errachidi, who has suffered his own ordeal since leaving the detention center. Errachidi told NEWSWEEK he had trouble adjusting to his freedom, "trying to learn how to walk without shackles and trying to sleep at night with the lights off." He signed each of the dozen e-mails he sent to NEWSWEEK with the impersonal ID that his captors had given him: Ahmed 590.
Holdbrooks, now 25, says he quit drinking three months ago and began attending regular prayers at the Tempe Islamic Center, a mosque near the University of Phoenix, where he works as an enrollment counselor. The long scar on his head is now mostly hidden under the lace of his Muslim kufi cap. When the imam at Tempe introduced Holdbrooks to the congregation and explained he'd converted at Guantánamo, a few dozen worshipers rushed over to shake his hand. "I would have thought they had the most savage soldiers serving there," says the imam, Amr Elsamny, an Egyptian. "I never thought it would be someone like TJ."

With Dina Fine Maron in Washington
© 2009
Maaf, agak panjang tetapi sangat menarik

Ethel Mae Blizzard : 29 Tahun Menemukan Hidayah Islam



Katagori : Journey to Islam
Oleh : Redaksi 14 Aug 2009 - 11:00 pm

Dari Mormonisme Kepada Islam

Ethel Mae Blizzard, sekarang tinggal di San Diego, California, AS, melakukan pencarian selama 29 tahun untuk memastikan agama apa yang pas untuknya. Sejak kecil hingga usia 16 tahun, Mae dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang menganut agama Mormon. Tapi pada usia 18 tahun, ia tidak lagi mempercayai ajaran agamanya itu dan mulai berfikir bahwa ada Tuhan di luar sana, di suatu tempat.

Dimulailah perjalanan panjang Mae untuk mencari agama yang ia yakini paling benar. Mae pun mempelajari beragam agama mulai dari yudaisme, agama Baptis, sekte Advent Hari Ketujuh, Kesaksisan Yehovah, Katolik dan berbagai sekte dalam agama Kristen. Tapi tak satu pun yang menyentuh hatinya. Mae menyerah dan berharap akan menemukan apa yang ia cari suatu hari nanti.

Suatu hari, Mae mencoba mencari pasangan hidup lewat internet dan ia bertemu dengan seorang perempuan di sebuah situs jodoh. Perempuan itu mengenalkan Mae dengan sahabatnya, seorang pria.

Tiga bulan Mae menjalin hubungan lewat dunia maya dengan lelaki yang dikenalkan perempuan tadi, keduanya lalu memutuskan untuk menikah. Masalahnya, pria tadi seorang Muslim dan Mae seorang Kristiani.

Mae sempat bingung ke si pria menanyakannya apakah ia mau menikah di masjid. Seumur hidup Mae tidak pernah datang ke masjid. Mae lalu bertanya pada temannya yang asal Turki dan diberitahu tentang Masjid Abu Bakar. Mae pun datang ke masjid itu untuk bertemu dengan imamnya, meski saat itu Mae sendiri tidak paham apa itu imam masjid.

Saat Mae datang ke masjid, bertepatan dengan waktu salat dan ia bertemu dengan Imam Taha. Mae sempat bicara dengan Imam Taha tentang Islam. Imam Taha menyuruh Mae datang lagi ke masjid jika masih ingin tahu banyak tentang Islam. Di luar itu, Mae juga mengunjungi sahabatnya yang asal Turki dan menanyakan beberapa hal tentang Islam dan Muslim. Waktu itu, Mae masih berpikir bahwa Muslim adalah agama. Tapi sahabatnya meluruskan, bahwa Muslim bukan agama, tapi Islam-lah yang agama sedangkan pemeluk Islam disebut Muslim.

Ketika Mae bertanya tentang Allah, sahabatnya menjawab bahwa "Allah adalah Tuhan" yang membuat Mae terkejut. Mae mengaku baru tahu bahwa orang Islam juga percaya tuhan.

"Sahabat saya itu juga menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang damai, begitu pula umat Islam, tidak seperti yang diberitakan media, ujar Mae.

Mae kemudian direkomendasikan untuk bertemu dengan Syaikh Saad jika ingin banyak menanyakan tentang agama Islam dan pernikahahan dalam Islam. Baru beberapa minggu kemudian, Mae bisa bertemu Syaikh Saad karena Mae sempat mengalami kecelakaan mobil dan tidak ada yang bisa mengantarnya untuk menemui Syaikh Saad.

Akhirnya, sahabat Mae bernama Juli mengantarnya ke Masjid Al-Ribat tempat Syaik Saad berada. Mae berbincang tentang berbagai hal tentang Islam dengan Syaikh Saad selama kurang lebih tiga jam, termasuk situasi Muslim pasca serangan 11 September 2001. Di akhir pertemuan, Syaikh Saad memberi Mae sebuah Al-Quran dengan terjemahan bahasa Inggris serta buku-buku tentang Islam.

Ketika pulang, Mae sempat berpikir bahwa Syaikh Saad tidak sopan karena tidak mau berjabat tangan dengannya. Namun Syaikh menjelaskan mengapa Muslim antara laki-laki dan perempuan tidak berjabatan tangan dan Mae menerima penjelasan Syaikh yang menurutnya masuk akal.

Menjadi Muslim Amerika

Berminggu-minggu Mae membaca buku-buku dan terjemahan Al-Quran yang diberikan Syaikh Saad. Mae sempat menangis saat membaca buku The Religion of Truth. Setelah membaca buku itu, Mae menulis di halaman 20 buku itu "Saya percaya". Ketika itu tanggal 8 Juni 2007, Mae membulatkan tekad untuk menjadi seorang Muslim.

Tanggal 23 Juni malam, ia datang ke masjid dan menanyakan dimana ia bisa mengucapkan dua kalimat syahadat. Malam itu juga, Mae bersyahadat disaksikan sejumlah muslimah yang hadir di masjid itu.

Mae beruntung karena seluruh keluarganya menerimanya menjadi seorang Muslim, kecuali sepupu-sepupunya yang begitu kuat menganut agama Mormon. Mereka sama sekali tidak senang mendengar kabar Mae masuk Islam dan menuding Mae menolak Yesus sebagai juru selamatnya.

Mae dan sepupu-sepupunya itu sempat tidak berkomunikasi beberapa waktu, sampai suatu hari salah seorang sepupu perempuannya mengucapkan selamat hari paskah padanya lewat email. Mae membalas email itu dengan mengirim tiga fotonya yang sudah mengenakan jilbab dan menyertakan informasi tentang Islam. Mae meminta sepupunya itu untuk mengerti bahwa ia sekarang sudah menjadi seorang Muslim.

Selain sepupunya, sahabat Mae bernama Christine juga menjauhi Mae setelah tahu Mae memeluk Islam. Mae pernah mengundang Christine untuk makan malam merayakan ulang tahun Mae. Tapi sahabatnya itu bertanya; "Apakah engkau masih menjalankan apa yang dilakukan Muslim? Mae menjawab "Ya". Christine lalu berjanji akan menghubungi Mae apakah ia akan makan malam bersama Mae. Tapi Christine tidak pernah menghubungi Mae kembali.

Pernah suatu kali, salah seorang tetangga Mae mengotori mobil Mae dengan lipstick berwarna merah ketika mereka melihat Mae mengenakan abaya dan jilbab. Meski demikian, Mae menegaskan bahwa ia akan teguh memeluk Islam, agama yang kini ia yakini setelah melakukan pencarian panjang selama 29 tahun. (ln/iol/eramuslim)