Di dekat rumah kami ada suatu tikungan, sebenarnya pertigaan, saya namakan ‘tikungan hidup’ karena di sana terjadi beragam kegiatan yang memberikan banyak makna bagi sisi kehidupan orang yang meliwatinya
Untuk memulai warna kehidupan di sana, saya tampilkan seorang yang mungkin dialah yang memulai kehidupan di sana setiap paginya, Wijaya, sebutlah namanya seperti itu. Dia hadir di sana sebelum azan subuh berkumandang dari menara mesjid-mesjid disekitarnya. Dia hadir di sana tidak perduli dalam keadaan hujan atau terik, demi untuk menjaga dan memlihara kekuasaannya yang panjangnya + 500 meter. Anda tahu kan, ya ia adalah petugas kebersihan. Kadang-kadang saya merasa sangat kecil dihadapannya apabila melihat pada dedikasinya yang luar biasa tersebut. Sudah bertahun-tahun dan tidak pernah luntur pengabdiannya. Apabila berbagi rezeki dengannya, dia akan mendoakan dengan tulus dengan doa yang panjang dan fasih. Kekurangannya adalah berkali-kali saya ajak shalat, termasuk shalat jumat, tetapi selalu alasan dengan tugasnya yang harus diselesaikan. Mudah-mudahan suatu ketia hatinya terbuka mendapat hidayah.
Tamu kedua yang sering menyinggahi tikungan tersebut, adalah orang-orang yang dilupakan masyarakat, bahkan mungkin mereka telah melupakan dirinya sendiri. Orang-orang yang tidak sadar akan kesadarannya karena beratnya perjuangan hidup. Apakah mereka datang ke ‘tikungan hidup’ ini untuk berusaha agar dirinya yang saat ini terabaikan oleh kehidupan untuk hidup kembali dengan harapan-harapan yang nyata. Yang jelas mereka datang ke sini dengan kondisi sendiri-sendiri. Ada yang masih berbusana ‘pantas’ dengan status yang masih orientasi lingkungan, tetapi sudah disorientasi kesadaran. Ada yang antara busana dan badannya tidak dapat dibedakan lagi. Ada yang sudah doyan berkoteka ala Jakarta, saingan koteka ala papua,dan yang paling top adalah yang tak punya apa-apa lagi, bahkan pakaian penutup kehormatan terakhir. Mungkin karena mereka tidak mengenal kehormatan lagi. Kalau disodorkan mekanan mereka kembali ke fitrahnya lagi.
Alhamdulillah, di sini paling sering dijumpai orang-orang jujur, orang yang tidak malu mengakui ketidaktahuannya. Mereka yang sadar butuh tuntunan, agat kehidupan dan perjalanan selanjutnya lebih terarah dan efektif. Mereka terdiri dari berbagai golongan dari pejalan kaki sampai pengendara mobil bagus, dari luar kota juga dari daerah Jakarta sendiri. Pertanyaan atau tuntunan yang mereka ajukan umumnya juga tidak sulit. Pak Wijaya, tukang kebersihan diatas, paling sering memberikan tuntunan. Syaratnya, arah atau wilayah yang ditanyakan diketahui lokasinya, mungkin karena pernah kesana atau tahu dari Peta. Ada kepuasan tersendiri apabila dapat memberi arahan atau bantuan, tetapi juga ada kekewaan apabila tidak dapat membantu mereka.
Penghuni atau pengguna yang paling heboh di ‘tikungan hidup’ ini, terutama pada saat-saat kampanye, adalah attribute para pendamba ‘kerajaan senayan’. Disini ada perlombaan spanduk dari bibir bumi sampai puncak-puncak tembok dan tonggak-tonggak bambu, bahkan sampai ke puncak pohon randu yang tumbuh dekat tikungan. Kadang-kadang juga saling tumpang tindih dan ke depan membelakangi yang lain. Untung saja belum ada bentrok yang terjadi. Kalau bukan attribute kampanye juga sering dijumpai spanduk dan baliho produk-produk baru dan tabloid terbitan pekanan, turut meramaikan dan mencemari daerah ini
Meskipun sebenarnya ‘tikungan hidup’ ini cenderung sepi, tetapi masih banyak aktivitas lain yang mewarnai dan memaknai tempat ini. Seperti; tukang ojek yang sering nongkrong meskipun kelihatan ogah-ogahan, penjual pikulan yang istirahat di pinggiran trotoar, agak kedalam sedikit mangkal penjual ikan segar, persis dekat tikungan beberapa penjual bubur yang membakar perapiannya setiap pagi, atau galian kabel yang selalu muncul merusak trotoar dan kenyamanan pejalan kaki dan lain-lain yang tidak sempat disebutkan semua disini. Inilah komunitas ‘tikungan hidup’ yang menjadikan daerah ini bergairah dan bermakna setidaknya menurut yang saya lihat.
Tikungan ini saya lalui minimal dua kali dalam sehari, kalau tidak ada acara alias di rumah saja, saya lewati daerah ini bisa sampai delapan kali dalam sehari. Dari perlintasan tersebut penghuni yang paling sering saya jumpai adalah pak Wijaya.
Kenangan ini sebenarnya belum selesai, karena di tikungan hidup selalu memprodusir kenangan yang baru selama masih berintegrasi dengannya. Ya sekian saja dulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar