************************************************************************************************************************
Saudaraku, kalau artikel dalam blog ini bermanfaat informasikanlah kepada muslim yang lain
(Setiap kata yang mencerahkan orang lain, Insya Allah, anda akan mendapat ganjaran pahala)
============================================================================

Kamis, 14 Januari 2010

30 Tahun Berjuang, Ubah Gereja Jadi Masjid

Monday, 28 December 2009 14:45

Di Clitheroe, mengubah gereja untuk dijadikan sebuah masjid, tidak semudah mengubah gereja untuk dijadikan pabrik

Hidayatullah.com--Dulu bangunan besar dengan dinding bata merah yang “teronggok” di kota Clitheroe itu tidak ada yang merawat dan tidak pula berpenghuni. Bangunan yang dikenal dengan nama Mount Zion Methodist Church (Gereja Metodis Bukit Zion) sudah ditinggalkan para pengikutnya, sejak tahun 1960. Dimana saat itu, praktik Rata Penuhperibadatan Kristen Inggris mengalami penurunan drastis. Setelah kosong dari jama’ahnya, gedung yang telah berdiri sejak abad ke 19 itu menjelma menjadi pabrik selendang yang mengekspor produknya ke Timur Tengah. Atap runcing dengan salib di puncaknya ikut berjajar dengan cerobong pabrik-pabrik lainnya di kota industri yang berjarak 20 mil dari Manchester itu.

Namun pada tanggal 21 Desember tahun 2007, “pabrik selendang” itu mulai memasuki sejarah barunya. Ia akan segera beralih fungsi menjadi tempat yang amat dihargai dan disucikan. 300 Muslim Clitheroe, telah siap memakmurkannya. Dengan sedikit renovasi, maka tidak ada yang barubah atau berkurang dengan bangunan itu. Hanya salib di puncak atap yang akan segera diturunkan.

Lembaran baru itu berganti setelah 150 anggota dewan kota setempat berkumpul guna memberikan suara mengenai persetujuan perubahan “mantan” gereja itu menjadi masjid. Hasilnya, suara pihak yang menyetujui perubahan mencapai 7-5. Walau di luar gedung para polisi telah mempersiapkan diri, tapi tidak terjadi tindakan anarkis di lokasi tersebut.

Tentu saja peristiwa itu amat berharga bagi umat Islam Clitheroe. Karena mereka telah melakukan usaha berliku-liku selama 30 tahun guna mewujudkan cita-cita untuk memiliki tempat ibadah sendiri. Dipimpin oleh Bagaskara Arshad (31), seorang manajer proyek di British Aerospace, mereka dengan susah-payah mengurus perizinan untuk mendirikan masjid.

Sebenarnya, yang dilakukan Arshad adalah meneruskan usaha ayahnya, Muhammad Arshad, imigran Pakistan yang datang ke kota itu sejak tahun 1965. Akan tetapi sayang, sampai ia meninggal pada tahun 2000, keinginan untuk membangun masjid belum tercapai.

Untuk satu masjid saja, 8 aplikasi permohonan sudah dibuat. Tidak hanya itu, Arshad juga telah meminta izin kepada dewan perwakilan kota setempat, untuk membeli rumah sederhana di pinggiran kota dan membeli tanah. Akan tetapi semua itu ditolak. Tak jarang ucapan yang bernada pelecehan juga ia terima, karena sering kali di rapat anggota dewan ia mendengar olokan,”Pulanglah Paki!”

Tidak hanya itu, beberapa surat pembaca telah ditayangkan dua media lokal, The Clitheroe Advertiser dan Times. Surat itu berisi peringatan akan “ancaman” dengan adanya aktivitas umat Islam di Clitheroe. Mereka ditakutkan bisa berkembang pesat seperti yang terjadi di dua kota indutri lainnya, yakni di Blackburn dan Priston, yang memiliki populasi umat Islam lebih banyak.

Akan tetapi, bagi Arshad, hambatan yang ada tidak menjadikannya patah semangat, justru hal itu membuatnya merasa lebih tertantang. Ia merasa berhak mendapatkan izin membangun masjid karena ia merasa bahwa kewajibannya sebagai warga negara telah ditunaikan. Maka haknya sebagai warga negara pun harus dipenuhi. ”Saya pikir, kenapa saya diperlakukan kurang baik? Seperempat gaji saya juga terkena pajak. Saya ingin membangun masjid.” Ungkapnya kepada The New York Times (2/4/2007).

Usaha terus dilakukan laki-laki bercambang lebat ini. Salah satunya mengorganisir kegiatan untuk menunjukkan bahwa Islam bukanlah ancaman. Salah satunya dengan mendirikan Pusat Studi Islam Madinah, untuk kalangan dewasa, yang menerima pelajar dari berbagai agama. Ia pun terus-menerus menjalin hubungan dengan dewan kota setempat. Tidak hanya itu, pendidikan, kecakapan berkomunikasi dengan logat lokal, serta posisinya sebagai pemuda yang tumbuh dan tinggal di kota itu turut memberi kontribusi, hingga dukungan sebagian besar anggota dewan mengalir kepadanya di malam yang bersejarah itu.

Tapi, walau demikian pihak-pihak yang membenci peralihan fungsi Mount Zion Methodist Church menjadi masjid tetap ada. Mereka tetap menilai bahwa umat Islam tidak akan berhenti dengan pembangunan masjid saja. Dan sepertinya, “perseteruan” ini tidak akan pernah berakhir. Terbukti, setelah hasil voting menunjukkan bahwa “kemenangan” memihak kepada umat Islam. Beberapa orang menyerang bangunan bekas gereja itu, hingga beberapa kaca jendela pun pecah. [Thoriq/Sahid/www.hidayatullah.com]



Tidak ada komentar: